BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia lahir yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun. Hak-hak ini berisi tentang
kesamaan tanpa membeda-bedakan suku, kepercayaan, golongan, keturunan, jabatan,
dan lain sebagainya antara setiap manusia yang hakikatnya sama-sama makhluk
ciptaan Tuhan.
Jika
kita melihat perkembangan HAM di Negara ini, ternyata masih banyak sekali
pelanggaran HAM yang sering kita temui. Mulai dari pelanggaran kecil hingga
pelanggaran HAM besar yang bersifat kriminal. Untuk menyelesaikan masalah ini,
perlu adanya keseriusan dari pemerintah menangani pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi dan menghukum individu yang terbukti melakukan pelanggaran HAM. Selain
itu, masyarakat juga perlu mengerti tentang HAM dan turut serta menegakkan HAM
mulai dari lingkungan tempat mereka tinggal, hingga nantinya akan terbentuk
penegakan HAM tingkat nasional.
Adapun
contoh dari pelanggaran HAM di Indonesia adalah kasus Munir. Kasus Munir
menjelaskan bahwa Hak warga Negara untuk memperoleh kebenaran belum dipenuhi
oleh pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan
permasalahan
berikut ini :
1.
Bagaimana kronologis kejadian kasus Munir?
2. UU dan KUHP nomor berapa yang berkaitan
dengan kasus ini?
3.
Solusi apa saja yang dilakukan untuk menanggapi
pelanggaran HAM seperti ini?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui kasus yang berkaitan dengan pelanggaran
HAM;
2.
Untuk mengetahui penyebab pelanggaran HAM dan
solusi-solusinya.
BAB II
ISI
2.1 Kronologis
Kejadian
Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember
1965 dan meninggal di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada
umur 38 tahun. Beliau keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi
Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai
seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu
dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dan Kopassus.
Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Kopassus
Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota
Batu.
Istrinya Munir, Suciawati, bersama aktivis HAM lainnya
terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
Munir Said Thalib, akan melanjutkan studi S2 bidang hukum
humaniter di Universitas Utrecht, Belanda pukul 21.30 WIB. Melalui pengeras
suara, seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974
tujuan Amsterdam dipersilakan petugas bendara naik ke pesawat.
Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak dari mereka
adalah warga Negara Belanda. Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu
Pollycarpus Budihari Priyanto, Pilot Garuda yang biasa disebut Polly. Status
Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai
penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu
masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih
dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali
percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K.
Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly
selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan
awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly
diperselakan oleh purser Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak
yang kosong di kelompok termahal itu. Purser adalah pimpinan kabin yang
bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang termasuk perpindahan tempat
duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih dan celana biru dongker itu
pun duduk.
Ada dua cerita tentang perpindahan Munir ke kelas bisnis
itu, yaitu menurut kisah Brahmanie dan Polly. Dalam sidang PN (Pengadilan
Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, ”Saat sedang di depan toilet bisnis,
saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang
boarding pass warna hijau, bertanya ’Mbak nomor 40G di mana? Mbak, saya
bertukar tempat dengan teman saya’ tanpa menyebutkan nama temannya. Karena nama
temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu,
saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu
saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B
atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong.”Sementara itu,dalam
wawancara di Lembaga Permasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, ”Saya ketemu
Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu
bisnis, ’Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang, ’Wah, bapak ini duduknya yang
mana saya tidak hafal.’ Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau
masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh
sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau
masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada
Munir, ’Saya duduk di bisnis, kalau bapak mau di sini, ya Bapak nanya dulu sama
pimpinan kabin, kalu diizinkan, ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’ Bahasa
saya seperti itu. Sudah, itu saja.” Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas
bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil
gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk.
Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk
panas), yang bisa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar
kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti
sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala
keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot
Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan
mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off dan
block on. Block off adalah waktu yang menunjukkan saat ganjal roda pesawat di
bandara dilepas dan pesawat mulai bergerak untuk terbang. Block on digunakan
sebagai penanda waktu kedatangan pesawat di bandara tujuan, yaitu saat ganjal
roda pesawat dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari
menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas
nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi
tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink.
Pilihannya adalah minuman beralkohol (wiski, gin, wine, white whine, dan bir),
soft drink, jus apel serta jus jeruk. Buavita, jus apel serta jus jeruk Buavita,
jus tomat, susu putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali
memilih jus jeruk. Setelah mengarungi langit Pulau Jawa, Sumatera, dan laut di
sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawatr GA 974 mendarat di Bandara Changi,
Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal
ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan atau
kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat
mencapai Coffe Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di
kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melalui gerbang D. Di perjalanan
menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. ”Anda Pak Munir, ya?”
”Iya Pak.” ”Saya dr.Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak Munir ngapain ke
Belanda?” ”Saya mau belajar. Mau nge-chargesatu tahun.” ”Di mana?” ”Utrecht.”
”Wah Indonesia kehilangan, dong. Anda kan orang penting?” komentar dr. Tarmizi.
”Ya ini perlu untuk saya, Pak.” timpal Munir sambil tersenyum. ”Anda kan pernah
nulis tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres nggak tuh?” tanya dokterlagi,
sambil keduanya berjalan. ”Ah, itu tergantung niat, kok.” ”Maksudnya?” ”Kalau
niatnya membereskan, tiga bulan juga beres.” Kemudian, dokter kelahiran
Sumatera Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi Munir kartu namanya sambil
berkata, ”Kapan-kapan, bila perlu, silakan menghubungi saya.” Munir menerima
kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya berpisah. Si dokter masuk ke kelas
bisnis, Munir menuju pintu bagian belakang pesawat dan duduk di kursi 40G kelas
ekonomi, sebagaimana tercantum di boarding passnya. Karena Polly hanya sampai
Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk penerbangan
Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan block
off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian
bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, sertapenambahan
penumpang dari Singapura.
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu
setempat. Penerbangan menuju Schipol ini dipimpin oleh Kapten Pantun Matondang,
dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab pelayanan penumpang.
Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek persiapan penumpang untuk
tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia dipanggil oleh Munir yang
meminta obar promag. Pramugari bernama lengkap Tia Dewi Ambara itu meminta
Munir menunggu sebentar karena pesawat akan tinggal landas dan seluruh awak
kabin harus duduk di tempat masing-masing. Kira-kira 15 menit kemudian, setelah
pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone,
dilanjutkan dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G, lelaki
berkaus abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia membangunkannya
dan bertanya, ”Apa Bapak sudah dapat obat dari teman saya?” ”Belum.” ”Maaf kami
tidak punya obat.” Tia lalu menawarkan makanan, yang ditolak oleh Munir. Namun,
lelaki ini meminta teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas yang dituangkan
dari teko ke gelas di atas troli. Munir menerima uluran minuman itu, lengkap
dengan gula 1 sachet. Ketika Tia melanjutkan melayani penumpang lain, Munir
melewatinya di gang menuju toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke toilet,
sekitar 30 menit setelah tinggal landas.
Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang
berada di langit India saat Munir semakin sering pergi ke toilet. Ketika
berjalan di gang kabin yang hanya diterangi oleh lampu baca, dia berpapasan dengan
pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut dan muntaber kepada
Bondan, serta memintanya memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di kelas bisnis.
Munir juga memberinya kartu nama dokter itu. Sesuai prosedur untuk situasi
semacam ini, Bondan pun melapor kepada purser Madjib Nasution yang berada di
Purser Station. ”Bang, ini Pak Munir penumpang kita sakit. Buang-buang air,
muntah-muntah. Ini ada kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana.
Tolong carikan tempat duduknya,” ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr.
Tarmizi. Madjib mencari penumpang atas nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger
Manifest dan menemukannya di kursi nomor 1J. Belum sempat dia beranjak, Munir
sudah berada di depan Purser Station. Sambil memegangi perut, Munir berkata,
”Saya sudah buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin maag saya kambuh.
Seharusnya tadi tidak minum jeruk waktu dari Jakarta-Singapura.” Munir pun
melanjutkan perjalanannya ke toilet. Madjib dan Bondan lalu mendatangi 1J dan
mendapati dr. Tarmizi sedang tidur di 1K, kursi sebelah kanannya yang karena
dekat jendela dan dia dapati kosong, lalu dia duduki. ”Dokter, Dokter....,”
Madjib berusaha membangunkan. Keduanya mengulanginya beberapa kali dengan suara
lebih keras, tapi tidur dokter bedah itu tetap tak terusik. Madjib kembali
berjumpa Munir di gang dan memintanya membangunkan dr. Tarmizi sendiri,
sementara Bondan pergi ke pantry untuk melaksanakan tugas terjadwalnya.
Akhirnya dr. Tarmizi bangun. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu
tampak sangat lemah dan berkata, ”Saya sudah muntah dan buang air besar enam
kali sejak terbang dari Singapura.” dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib
supaya Munir pindah tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan dekat
dengannya. Munir pun duduk di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di samping
kirinya. ”Pak Munir makan apa saja dua hari terakhir ini?” tanya dokter
spesialis bedah toraks kardiovaskular itu. Munir hanya diam, mungkin akibat
nyeri perutnya. Pertanyaan itu disambut oleh Madjib, ”Pak Munir tadi sempat
minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena punya maag.”
Munir tetap diam, tidak berkomentar. ”Kalau maag tidak begini,” kata si dokter,
yang lalu bertanya kepada Munir, ”Anda makan apa?” ”Biasa saja.” ”Kemarin?”
”Biasa saja.” ”Kemarinnya lagi?” ”Biasa saja.” Dokter itu melakukan pemeriksaan
secara umum dengan membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi di
pergelangan tangan Munir lemah. Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala
kekurangan cairan akibat muntaber.
Munir kembali lagi ke toilet, diikuti dokter, pramugara,
dan pramugari. Setelah muntah dan buang air, dia pulang ke kursi 4D, sambil
terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi meminta seorang pramugari mengambilkan
Doctor’s Emergency Kit yang dimiliki pesawat terbang. Kotak itu dalam keadaan
tersegel. Setelah melihat isinya, dia berpendapat obat yang tersedia sangat
minim, terutama untuk kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi tidak
ada. Tidak ada obat khusus untuk sakit perut mulas, juga obat muntaberbiasa. Si
dokter pun mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir obat diare New
Diatabs serta obat mual dan perih kembung Zantacs dan promag. Dua tablet untuk
yang pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua terakhir. Dr. Tarmizi lalu
meminta seorang pramugari membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam di
dalamnya. Namun, lima menit setelah meminum teh hangat itu, Munir kembali ke
toilet. Munir rampung setelah lima menit dan membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu
membimbing Munir berjalan menyusuri gang sambil berkomentar kepada Purser
Madjib, ”Mengapa infus saja tidak ada, padahal perjalanan sejauh ini?” Di kotak
obat pesawat terdapat cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang kemudian
disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi
di bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian tidur.
Penderitaannya reda selama 2-3 jam.
Munir bangun dan kembali masuk ke toilet. Dia cukup lama
berada di dalamnya, kira-kira 10 menit, dan pintunya pun tidak tertutup dengan
sempurna. Madjib memberanikan diri melongok lewat celah yang ada dan mengetuk
pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang sedang menderita di dalam sana.
Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38 tahun itu sedang
bersandar lemas di dinding toilet. Purser Madjib langsung memanggil dokter yang
selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi penumpangnya itu. Dr. Tarmizi
mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir kembali ke kursi 4D.
Setelah didudukkan di kursi, Munir menjalani pemeriksaan oleh dr. Tarmizi,
dalam gelapnya kabin pesawat yang hanya diterangi lampu baca. Kegelapan ini
keadaan yang tak bisa mereka atasi sebab demikianlah aturan penerbangan.
Pertama pergelangan tangan, lalu perut. Saat perutnya diketuk oleh si dokter,
Munir mengeluh, ”Aduh, sakit,” sambil memegang perut bagian atas. Madjib
menyarankannya untuk beristighfar, disambut Munir dengan menyebutnya,
”Astaghfirullah Haladzim La Ilaha Illa Llah,” sambil tetap memegangi perut.
Pramugari Titik Murwati yang berada di dekat situ berinisiatif memberi balsem
gosok, tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan derita penumpangnya.
Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik menggosok perut Munir dengan balsem yang bisa
memberikan rasa hangat. Munir berkata dia ingin istirahat karena capek. Dr.
Tarmizi membuka kotak obat lagi dan mengambil obat suntik Diazepam. Kali ini,
dokter menyuntikkan 5 mg di bahu kanan, juga dengan bantuan purser Madjib.
Jarak antara kedua suntikan sekitar 4-5 jam. Sesudah suntikan obat penenang
itu, Munir masih merasakan mulas di perut. Lima belas menit berlalu dan Munir
ke toilet lagi, ditemani dokter, purser, serta pramugari. Di dalamnya, Munir
muntah, diikuti buang air. Kembali ke tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin
tidur telentang. Purser dan seorang anak buahnya membentangkan sebuah selimut
sebagai alas di lantai depan kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya. Dia pun
berbaring di sana, dengan dua selimut lagi diletakkan di atas tubuhnya agar
hangat. Dr. Tarmizi berkata kepada awak kabin itu supaya Munir dijaga, dan
bahwa dirinya ingin istirahat karena besok kerja dia akan melakukan operasi
jantung di rumah sakit di Swole, sambil minta dibangunkan bila terjadi apa-apa
dengan Munir. Juga, dia berpesan agar mereka memastikan dokter dari Amsterdam
yang besok masuk ke pesawat membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke
kursi di 1K dan tidur. Munir kembali bisa tidur, tapi sering berubah posisi,
dan posisi itu selalu miring, tidak pernah telentang atau tengkurap. Madjib
terus setia menjaga Munir sampai sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di
Bandara Schipol, saat awak kabin menyiapkan makan pagi penumpang. Madjib
berjalan ke tempat duduk dr, Tarmizi dan bertanya apakah perlu dirinya
membangunkan Munir untuk sarapan, yang dijawab dengan anjuran untuk membiarkan
Munir tetap istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan
pesawat.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT
atau 12.10 WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala,
Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi ”tempat tidur” Munir. Di depan
kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap kursi,
milutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak tangannya membiru.
Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas
menuju kursi sang dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir sambil
enepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, ”Pak Munir... Pak Munir...,”
Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, ”Purser, Pak
Munir meninggal... Kok secepat ini, ya... Kalau cuma muntaber, manusia bisa
tahan tiga hari.” Purser Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya mengangkat
tubuh kaku Munir ke tempat yang lebih baik: Lantai depan kursi 4J-K. Munir
berbaring di atas dua lembar selimut, kedua matanya dipejamkan oleh Bondan.
Tubuhnya ditutupi selimut.
Bondan dan Asep membaca surat Yaasin di depan jenazah
Munir Said Thalib, empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa
polisi Belanda (Insitut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa
arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia.
Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga
bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto
dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim
menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh
arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah
tersebut. Hakim Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan, Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah agen intelijen senior tetapi
tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah
diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn) Muchdi Pr, yang
kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra,
ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam
bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun demikian, pada 31 Desember 2008,
Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah
ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.
2.2
Analisis Yuridis
Pasal yang
dikenakan terhadap Muchdi yakni;
- Pasal 340 UU KUHP dengan ancaman maksimal hukuman seumur hidup.
“Barang siapa dengan sengaja
dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
- Pasal 55 ayat 1 UU KUHP
Dipidana
sebagai pelaku tindak pidana:
”Mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.”
2.3 Solusi
Komite
Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) mendesak agar kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib diungkap
hingga tuntas. Ketua Tim Legal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum)
Chairul Anam menilai Presiden Yudhoyono telah ingkar janji karena telah
mengabaikan kasus tersebut, padahal beberapa saat setelah kematian Munir,
Presiden berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas. Menurut
Anam, sebenarnya Presiden saat ini masih bisa memerintahkan Jaksa Agung Basrief
Arif dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo melakukan penyidikan ulang untuk
persiapan peninjauan kembali.
Selain Kasum, Suciawati—istri Munir—juga mengatakan hingga saat ini dia terus berjuang agar kasus
kematian suaminya dapat dituntaskan. Ia juga mengatakan, penuntasan kasus
kematian Munir ini sangat penting agar tidak ada lagi aktivis yang dibunuh atau
disiksa karena perjuangannya.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden—Julian Aldrin
Pasha—menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono sangat mendungkung pengungkapan kasus
kematian Munir. Sejauh ini, kata Julian, kasus yang berkaitan dengan kematian
Munir sedang ditangani di kejaksaan dan kepolisian.
Dalam kasus ini, pengadilan telah memvonis dua orang
yakni mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, dengan
hukuman 20 tahun penjara dan mantan direktur utama PT Garuda Indonesia, Indra
Setiawan, dengan hukuman 1 tahun penjara.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa
kepada seluruh manusia tanpa terkecuali dan tidak dapat diganggu gugat. Jadi,
sudah sepatutnya pemerintah memberikan apa yang seharusnya rakyat miliki yang
diantaranya adalah hak untuk mendapatkan keadilan, kehidupan, dan kebenaran.
Hak
Asasi Manusia (HAM) juga telah diatur didalam UU No. 39 Tahun 1999 yang isinya
mengenai hak-hak yang dimiliki rakyat di Indonesia yaitu Hak hidup, Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, Hak mengembangkan diri, Hak memperoleh
keadilan, Hak atas kebebasan pribadi, Hak atas rasa aman, Hak atas
kesejahteraan, Hak turut serta dalam pemerintah, Hak wanita, Hak anak, dll.
Dengan
begitu, kasus Munir merupakan pelanggaran HAM yang harus di jadikan pelajaran
untuk bangsa ini agar di masa depan nanti lebih menghargai HAM itu sendiri.
Untuk itu, diperlukan perhatian pemerintah yang mendalam dan pemahaman yang
lebih dari seluruh rakyat agar dapat bersama-sama menegakkan HAM di bangsa yang
kita cintai ini.
3.2
Saran-Saran
Pemerintah
harus mengungkap masalah Munir dan menegakkan keadilan, masalah ini harus
dituntaskan agar tidak ada lagi aktivis HAM yang dibunuh atau disiksa karena
perjuangannya.
Dan
juga sikap sadar akan pentingnya HAM harus ditingkatkan agar di masa depan
nanti tidak ada lagi pelanggaran HAM.
Terima kasih ka:) sangat membantu
BalasHapusterima kasih
BalasHapussangat sangat membantu, dan aku baru tau kronologi yang jelas begini